REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Siapa sangka kalau perompak Somalia hidupnya susah? Duit hasil rampokan mereka bagi-bagi ke keluarga, ke klan, ke kawan perompak, dan sisanya dibelikan senjata dan kapal baru.
Dengan uang tebusan per kapal mencapai jutaan dolar AS, maka bukan hil yang mustahal kalau para perompak itu hidupnya bergeliman dolar AS. Mereka dikelilingi gadis-gadis cantik, rumahnya besar dan berhektar-hektar, mobilnya gres dari Eropa dan Jepang, dan tentunya teknologi senjata terbaru.
"Nggak ada informasi hari ini. No comment," bentak seorang perompak Somalia lewat saluran telepon satelit, seperti didengar wartawan BBC. Ia lalu mengakhiri percakapan dengan sebuah bantingan telepon.
Nada suaranya gugup. Kemungkinan dia gugup menunggu apakah tebusan jutaan dolar AS akan mengalir ke kantong mereka. Perompak Somalia itu baru saja membajak sebuah kapal Ukrania, MV Faina. Yang heboh adalah isi dari kapal ini: 33 tank tempur Rusia.
Gara-gara muatan berbahaya ini, para perompak menjadi sedikit khawatir. Tapi mereka tetap menunggu tebusannya. Siapa sih sebenarnya para perompak ini? Menurut warga di Puntland, wilayah yang menjadi kampung perompak, para perompak punya gaya hidup tinggi.
"Mereka punya duit, mereka punya kekuasaan, dan mereka makin kuat setiap hari," kata Abdi Farah Juha, warga Garowe, di dekat Puntland.
"Para perompak itu punya bini yang cantik-cantik. Mereka punya rumah mewah. Mobil baru dan senjata baru," sambung Juha. "Di sini, di Somalia, menjadi perompak adalah suatu kelas masyrakat yang tinggi dan fashionable," katanya lagi.
Rata-rata umur perompak adalah 20-35 tahun. Mereka menjadi perompak semata-mata karena uang. Dan mereka mendapatkannya. Ini membuat kampung perompak di Puntland menjadi wilayah yang makmur. 180 derajat berbeda dengan wilayah Somalia lainnya yang cari makan saja harus meminta bantuan lembaga dan negara lain.
Rata-rata pemilik kapal yang dirompak di Teluk Aden harus merogoh kocek sedalam dua juta dolar AS. Imbalannya, bila dibayar, maka muatan kapal dan kru kapal dijaga hidup-hidup. Wartawan BBC yang masuk ke kampung perompak di Puntland mengatakan, uniknya para perompak ini kompak antara kelompok satu dan lainnya.
Mereka bisa kompak karena ada duit di antara mereka. Warga Puntland yang menjadi perompak dan terluka tembak kerap nongol di jalan-jalan daerah itu. Di pantainya tidak pernah ada mayat siapapun, warga lokal atau warga asing.
Melihat sejarah Somalia yang kerap perang saudara dan perang suku, 'kekompakan' perompak di Puntland ini sangat unik. Itu menjelaskan mengapa adanya laporan bahwa perompak menembak mati sandera di MV Faina sangat dibantah oleh mereka.
Juru bicara perompak, Sugule Ali, menegaskan pada BBC di Somalia, bahwa seluruh sandera sehat. "Semua senang. Kita menembakkan senjata menyambut Hari Raya kok," katanya dengan tenang.
Tiga Kelompok
Pengamat Somalia Mohamed Mohamed mengatakan ada tiga kelompok besar yang menjadi cikal bakal perompak. Kelompok pertama adalah mantan nelayan. Mereka adalah tulang punggung operasi perompak karena sangat mengenal Teluk Aden.
Kelompok kedua adalah mantan milisi dari perang saudara Somalia. Mereka menjadi eksekutor perompak. Kelompok terakhir adalah para ahli IT. Mereka yang mengoperasikan peralatan canggih untuk merompak kapal di tengah laut termasuk berkomunikasi lewat telepon satelit dan ahli senjata.
Lembaga riset Inggris, Chatham House, melaporkan aksi perompakan dalam setahun bisa mencapai 30 juta dolar AS. Perompak juga makin agresif dan makin jual mahal menentukan tebusan. Kapal MV Faina kalau mau dilepas harus membayar 22 juta dolar AS! Meski belakangan turun drastis jadi 8 juta dolar AS.
Para perompak ini mendapat senjata dari Yaman dan Mogadishu (ibu kota Somalia). Para pengamat menyatakan, pedagang senjata di Mogadishu menerima order senjata dari perompak lewat perusahaan transfer duit lokal. Setelah instruksi diterima, transaksi dengan senjata berjalan dan senjata dikirim lewat jalur darat ke Puntland. Mereka membayar tunai di tempat.
Yang mungkin agak sukar dipercaya adalah dengan berlimpah uang, kini para perompak ada yang menjadi 'bank'. Para pebisnis Somalia tak jarang meminjam kredit ke perompak. Ini menjadi ladang baru bagi warga Puntland yang enggan jadi perompak. Menjadi pialang kredit perompak.
Saat beroperasi, untuk menjaga stamina, para perompak ini kerap menggunakan narkoba dan mengunyah khat (doping lokal). Mereka juga merokok hashih dan minum alkohol.
Para nelayan pun berbondong-bondong menjadi perompak karena jalan pintas menjadi kaya. Apalagi ikan hasil tangkapan tradisional mereka kalah bersaing dengan kapal-kapal pukat internasional yang beroperasi ilegal di Somalia.
Awalnya, perompak bermula di selatan Somalia. Baru beranjak ke utara sejak 2007. Abdulkadil Mohamed, warga Garowe, mengatakan realitas yang dihadapi warga pesisir Somalia. "Mereka tidak menganggap dirinya perompak. Mereka menganggap dirinya penjaga pantai (coastguard). Adalah ilegal fishing di sini yang merubah mereka jadi perompak," katanya.
http://id.berita.yahoo.com/perompak-somalia-hidup-kaya-raya-mobil-mewah-rumah-20110411-015348-125.html
Dengan uang tebusan per kapal mencapai jutaan dolar AS, maka bukan hil yang mustahal kalau para perompak itu hidupnya bergeliman dolar AS. Mereka dikelilingi gadis-gadis cantik, rumahnya besar dan berhektar-hektar, mobilnya gres dari Eropa dan Jepang, dan tentunya teknologi senjata terbaru.
"Nggak ada informasi hari ini. No comment," bentak seorang perompak Somalia lewat saluran telepon satelit, seperti didengar wartawan BBC. Ia lalu mengakhiri percakapan dengan sebuah bantingan telepon.
Nada suaranya gugup. Kemungkinan dia gugup menunggu apakah tebusan jutaan dolar AS akan mengalir ke kantong mereka. Perompak Somalia itu baru saja membajak sebuah kapal Ukrania, MV Faina. Yang heboh adalah isi dari kapal ini: 33 tank tempur Rusia.
Gara-gara muatan berbahaya ini, para perompak menjadi sedikit khawatir. Tapi mereka tetap menunggu tebusannya. Siapa sih sebenarnya para perompak ini? Menurut warga di Puntland, wilayah yang menjadi kampung perompak, para perompak punya gaya hidup tinggi.
"Mereka punya duit, mereka punya kekuasaan, dan mereka makin kuat setiap hari," kata Abdi Farah Juha, warga Garowe, di dekat Puntland.
"Para perompak itu punya bini yang cantik-cantik. Mereka punya rumah mewah. Mobil baru dan senjata baru," sambung Juha. "Di sini, di Somalia, menjadi perompak adalah suatu kelas masyrakat yang tinggi dan fashionable," katanya lagi.
Rata-rata umur perompak adalah 20-35 tahun. Mereka menjadi perompak semata-mata karena uang. Dan mereka mendapatkannya. Ini membuat kampung perompak di Puntland menjadi wilayah yang makmur. 180 derajat berbeda dengan wilayah Somalia lainnya yang cari makan saja harus meminta bantuan lembaga dan negara lain.
Rata-rata pemilik kapal yang dirompak di Teluk Aden harus merogoh kocek sedalam dua juta dolar AS. Imbalannya, bila dibayar, maka muatan kapal dan kru kapal dijaga hidup-hidup. Wartawan BBC yang masuk ke kampung perompak di Puntland mengatakan, uniknya para perompak ini kompak antara kelompok satu dan lainnya.
Mereka bisa kompak karena ada duit di antara mereka. Warga Puntland yang menjadi perompak dan terluka tembak kerap nongol di jalan-jalan daerah itu. Di pantainya tidak pernah ada mayat siapapun, warga lokal atau warga asing.
Melihat sejarah Somalia yang kerap perang saudara dan perang suku, 'kekompakan' perompak di Puntland ini sangat unik. Itu menjelaskan mengapa adanya laporan bahwa perompak menembak mati sandera di MV Faina sangat dibantah oleh mereka.
Juru bicara perompak, Sugule Ali, menegaskan pada BBC di Somalia, bahwa seluruh sandera sehat. "Semua senang. Kita menembakkan senjata menyambut Hari Raya kok," katanya dengan tenang.
Tiga Kelompok
Pengamat Somalia Mohamed Mohamed mengatakan ada tiga kelompok besar yang menjadi cikal bakal perompak. Kelompok pertama adalah mantan nelayan. Mereka adalah tulang punggung operasi perompak karena sangat mengenal Teluk Aden.
Kelompok kedua adalah mantan milisi dari perang saudara Somalia. Mereka menjadi eksekutor perompak. Kelompok terakhir adalah para ahli IT. Mereka yang mengoperasikan peralatan canggih untuk merompak kapal di tengah laut termasuk berkomunikasi lewat telepon satelit dan ahli senjata.
Lembaga riset Inggris, Chatham House, melaporkan aksi perompakan dalam setahun bisa mencapai 30 juta dolar AS. Perompak juga makin agresif dan makin jual mahal menentukan tebusan. Kapal MV Faina kalau mau dilepas harus membayar 22 juta dolar AS! Meski belakangan turun drastis jadi 8 juta dolar AS.
Para perompak ini mendapat senjata dari Yaman dan Mogadishu (ibu kota Somalia). Para pengamat menyatakan, pedagang senjata di Mogadishu menerima order senjata dari perompak lewat perusahaan transfer duit lokal. Setelah instruksi diterima, transaksi dengan senjata berjalan dan senjata dikirim lewat jalur darat ke Puntland. Mereka membayar tunai di tempat.
Yang mungkin agak sukar dipercaya adalah dengan berlimpah uang, kini para perompak ada yang menjadi 'bank'. Para pebisnis Somalia tak jarang meminjam kredit ke perompak. Ini menjadi ladang baru bagi warga Puntland yang enggan jadi perompak. Menjadi pialang kredit perompak.
Saat beroperasi, untuk menjaga stamina, para perompak ini kerap menggunakan narkoba dan mengunyah khat (doping lokal). Mereka juga merokok hashih dan minum alkohol.
Para nelayan pun berbondong-bondong menjadi perompak karena jalan pintas menjadi kaya. Apalagi ikan hasil tangkapan tradisional mereka kalah bersaing dengan kapal-kapal pukat internasional yang beroperasi ilegal di Somalia.
Awalnya, perompak bermula di selatan Somalia. Baru beranjak ke utara sejak 2007. Abdulkadil Mohamed, warga Garowe, mengatakan realitas yang dihadapi warga pesisir Somalia. "Mereka tidak menganggap dirinya perompak. Mereka menganggap dirinya penjaga pantai (coastguard). Adalah ilegal fishing di sini yang merubah mereka jadi perompak," katanya.
http://id.berita.yahoo.com/perompak-somalia-hidup-kaya-raya-mobil-mewah-rumah-20110411-015348-125.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
please comment